Minggu, 19 April 2020

VIRAL STATE

VIRAL STATE
Kekuatan dan pengaruh viral bagi negara


Seorang ibu menangis terisak-isak, berteriak sambil melipat barang dagangannya ketika berhadapan dengan anggota Pol PP yang hendak menutup tokonya. "kalau di luar saya mati korona, kalau di dalam rumah kami juga mati kelaparan pak!" begitu kira kira salah satu penggalan perkataan ibu tersebut. Tanpa disadari momen yang dianggap menarik itu divideokan oleh orang dan di share ke media sosial. Dalam beberapa hari video tersebut viral ditonton banyak orang. 

Fenomena viral adalah venomena yang muncul belakangan, berbarengan dengan melesatnya peran media sosial dalam masyarakat. Viral adalah dampak dari globaliasasi kemajuan teknologi informasi yang tak terbendung. Hampir setiap individu dari berbagai kalangan dapat menikmati kemajuan teknologi ini. 

Sebenarnya viral dapat menjadi buah dari kemajuan teknologi atau malah dampak negatifnya. Jika sesuatu yang viral tersebut adalah sebuah kebaikan yang kemudian berdampak baik bagi diri orang yang viral, maupun menjadi sebuah inspirasi bagi orang lain yang melihat.  Bisa dipastikan hal tersebut adalah viral yang bersifat positif. Namun jika yang viral adalah sebuah perbuatan yang buruk, dan menjadikan sebuah aib bagi orang yang viral, serta menimbulkan keresahan dan kesedihan bagi yang melihat maka hal tersebut adalah dampak negatifnya. 

Bahasan kali ini, yang menjadi keresahan penulis bukan kisah viral yang berdampak positif atau negatif bagi individu, melainkan viral yang melibatkan negara yang dalam hal ini adalah pemerintah daerah maupun pusat. Atau sebut saja sebuah fenomena negara merespon hal yang menjadi viral di masyarakat. 

Kalau kita kembali ke kisah di atas, seorang ibu yang bernama Yernis, warga Cisoka, Tangerang, Banten yang videonya viral karena perkataannya ketika berhadapan dengan Pol PP. Respon pemerintah daerah dalam hal ini camat yang langsung turun untuk memberi bantuan langsung kepada Ibu Yernis. Terlihat cepat dan tanggap. Hal tersebut disampaikan ketika Ibu Yernis menghadiri acara di salah satu Stasiun Televisi Selasa, 14 April 2020.

Kisah viral berikutnya adalah Bapak Habid 70 tahun, warga Kampung Nagrog, Desa Padasuka, Kecamatan Sukarame, Tasikmalaya, yang viral karena kakek tua yang tinggal di gubuk ini tidak pernah tersentuh bantuan dari pemerintah. Akhirnya langsung ditanggapi Kepala Dinas Sosial Kab. Tasikmalaya yang baru mengetahui bahwa ada warga (Habid) yang belum tersentuh bantuan. Atau Rusmin, 70 tahun, seorang kakek buta yang viral karena dituduh sebagai perampok bermodus. Langsung direspon oleh Pemerintah Kab. Bogor melalui Camat Babakan Madang dan Kapolsek yang mendatangi kediamannya untuk memberikan bantuan. 

Kisah viral lain yang tak kalah menarik adalah, Nurul Mukminin, 47 tahun, seorang supir Semarang yang viral karena membawa anaknya yang masih Bayi 3.5 bulan, berkeliling menarik angkutan umum. Setelah viral sekitar bulan Februari 2020, Ia banyak dibantu oleh orang yang merasa simpati. Tak tanggung-tanggung hingga Baim Wong seorang Selebritis dan Youtuber terkenal datang membantu. Setelah viral, Pemerintah daerah terutama Kelurahan Wonosari turut membantu dengan menjaga anaknya yang bernama Bilqis tersebut selama pak Mukminin bekerja. Atau kisah Rayyan Dziki Nugraha, 10 tahun, seorang anak kecil yang viral karena merawat ibunya yang sedang sakit. Seorang anak dari Kab. Magelang tersebut akhirnya banyak dibantu setelah beritanya tersebar hingga pelosok Indonesia. Bantuanpun datang dari Sekolah, hingga Pemerintah Daerah. 

Apa yang Penulis uraikan terlihat sesuatu hal yang wajar dan normal saja. Atau bahkan sesuatu hal yang positif karena bisa saling bahu membahu membantu orang yang sedang kesusahan. Namun sebelum berfikir terlalu jauh, mari kita ajukan sebuah pertanyaan yang apabila ini dijawab pasti akan membuka semuanya. Pertanyaannya yaitu, apakah jika semua orang tersebut yang penulis sebutkan, akan tetap dibantu meskipun tidak viral?. Pertanyaan ini lah yang sulit terjawab, karena diajukan setelah kejadian. Akan tetapi bisa terjawab jika kita melihat beberapa kasus serupa yang tidak viral. Apakah mereka terbantu? 

Jika kita melihat dalam perspektif itu, maka akan sangat miris kita melihat pergerakan Negara kita yang dalam hal ini Pemerintah. Dimana mereka sangat sigap dan cepat merespon sebuah masalah yang telah viral dan menyebar luas. Sekarang bandingkan dengan orang yang bernasib serupa namun tidak beruntung karena tidak viral. Apakah sama? Jika sama, maka kredit poin untuk sebuah Pemerintahan. Jika tidak sama responnya, maka sesungguhnya Pemerintahan itu tidak berjalan dengan baik. 

Pemerintahan yang baik, dalam kasus ini, adalah pemerintah yang bekerja secara komprehensip, menyelesaikan setiap masalah yang menimpa warganya, dengan sebuah daya upaya dan kekuatan yang mereka miliki, dan berjalan berdampak kepada penerima, dengan atau tanpa ditonton oleh orang banyak. Mereka menyiapkan konsep untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada rakyatnya dengan jelas. Misalnya dengan kebijakan atau aturan. Bukan karena paksaan keviralan semata. 

Negara dalam hal ini tidak boleh genit karena kerlingan ribuan pasang mata. Tidak juga boleh lemah karena cibiran ribuan mulut.  Karena negara adalah Institusi mahal, berprinsip, dan powerfull untuk melindungi rakyatnya.

Dampak buruk bagi fenomena ini adalah, adanya sebuah ketidakpercayaan rakyat atau warga terhadap Pemerintahnya. Kedua, adanya kecemburuan sosial di tingkat paling bawah, bagi mereka yang menerima bantuan karena viral, dan yang tidak menerima karena tidak viral. Ketiga, adanya kebiasaan ingin membuat keviralan dikalangan masyarakat, karena mereka berfikir dengan begitulah mereka akan didengar. Dan jika hal tersebut dilakukan terus, akan membuat sebuah kebiasaan yang tidak sehat dikalangan masyarakat bawah. #hk11


Minggu, 12 April 2020

PENYAKIT, TAKDIR, DAN TAWAKAL

PENYAKIT, TAKDIR, DAN TAWAKAL
Oleh : Hendri Kurniawan

Penyakit, takdir dan tawakal nampaknya tidak memiliki relasi yang kuat untuk dijadikan bahan tulisan. Terlebih karena ketiganya masuk ke dalam Bab pembahasan yang berbeda. Namun ternyata ketiga kata itu memiliki kaitan yang cukup erat, bukan karena Islam sendiri yang mengeratkannya, akan tetapi keeratan ketiga kata itu berdasarkan sebuah realitas yang terjadi dari zaman Rasulullah, zaman sahabat, hingga saat ini. Berdasarkan realitas itulah, Islam sebagai sebuah solusi menjawab dan mengklarifikasi hubungan ketiga kata itu.

Sejenak kita tinggalkan ketiga kata tersebut. Kemudian mari kita buka mata untuk sebuah realitas saat ini. Penulis akan menyajikan sebuah realitas berdasarkan apa yang Penulis baca dan lihat saja, kemudian akan kita kaitkan dengan pembahasan kali ini.

Baru-baru ini, di media sosial ada sebuah pernyataan yang viral menyikapi fatwa sholat jumat ketika wabah dari MUI. Pernyataannya kurang lebih begini “jangan takut terhadap virus korona, takutlah kepada Allah”. Pernyataan yang lain yang tak kalah menyebar “lebih baik mati ketika sholat jumat dari pada harus tidak sholat jumat”. Pernyataan lainnya “semua berdasarkan takdir, jika takdirnya kita sakit maka tidak ada yang bisa menahannya”. Semua pernyataan tersebut, jika dilihat secara sederhana maka tidak akan bermasalah. Namun jika diteliti maka akan menemukan kekurangan bahkan kesalahan fatalnya.

Selain itu ada pula berita baru baru ini yang tak kalah membuat kita kaget, sekumpulan jamaah memaksa membuka pagar masjid untuk melaksanakan shalat jumat setelah ditutup sementara oleh pihak DKM. Senanda dengan itu, ada seorang pemuka agama berusaha meyakinkan jamaahnya dengan membandingkan shalat ketika perang dengan shalat jumat ketika wabah terjadi, "perang saja yang resikonya hidup mati, masih diwajibkan shalat, apalagi cuma korona" demikian kira-kira penggalan komentarnya. Menurut singkat Penulis membandingkan perang dengan wabah tentu bukan qiyas yang tepat. 

Penulis kali ini, tidak akan membahas tentang pernyataan-pernyataan tersebut, tapi Penulis berupaya menyimpulkan dan berupaya mencari akar masalah kenapa bisa terlontar pernyataan-pernyataan tersebut, kemudian berupaya mengurai agar mendapatkan jalan pencerahan. Menurut Penulis, semua pernyataan tersebut terlontarkan berakar pada kesalahan pemahaman terhadap ketiga kata yang Penulis sampaikan di awal tulisan ini. 

Kesalahan memaknai Penyakit, takdir dan tawakal tidaklah mengherankan Penulis. Karena kesalahan memaknai ketiga hal ini tidak hanya dialami pada zaman sekarang saja. Pada zaman Rasulullah pun ternyata demikian. Dan Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat tentang perkara ketiga hal tersebut dengan cerdas.

Penulis jadi teringat ada seorang dai yang mengatakan bahwa, sebenarnya tipe umat di zaman Rasulullah dan zaman sekarang tidak jauh berbeda. Ada yang taat, ada yang tidak taat, ada yang rasional ada yang tidak, ada yang sangat taat bahkan sampai berlebihan dalam beragama. Namun bagaimanapun kondisinya, jika mereka beriman kepada Allah dan RasulNya, maka ketika Rasulullah beritahu, mereka akan selalu patuh.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi mungkin menggambarkan kondisi pemikiran seorang sahabat yang misunderstanding terhadap takdir dan penyakit. Haditsnya diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Al Hakim dan dikutip juga oleh Ibnul Qayyim Al Jauzy di dalam kitab tibbunnabawi. Seorang Sahabat bertanya : “wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ruqyah yang dibacakan, dan obat yang digunakan untuk pengobatan, serta pantangan-pantangan yang kami hindari, apakah ini semua menolak takdir Allah?, Rasulullah menjawab :”itu semua termasuk takdir Allah”. Pada hadits ini tergambar kesalahpahaman sahabat terhadap sebuah penyakit dan pencegahannya serta makna takdir itu sendiri. Dan Rasulullah sebagai sumber Ilmu menjelaskan dengan sangat singkat dan cerdas.

Kesalahpahaman tersebut juga dialami oleh seorang sahabat yang bertanya kepada Khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu Khalifah Umar yang memiliki kecerdasan dan intelektualisme tinggi, pernah berencana untuk berkunjung ke daerah Suriah. Tiba-tiba terbetik berita bahwa di daerah tersebut sedang terjadi wabah penyakit menular. Lalu seketika Khalifah Umar membatalkan kunjungannya itu. Para Sahabat banyak yang protes atas sikap Umar ini. sehingga mereka berkata “apakah Tuan hendak lari dari takdir Allah?”. Lalu Umar pun menjawab dengan sebuah kata yang terkenal dan menjadi rujukan dalam BAB takdir “aku lari dari takdir Allah, kepada takdir Allah yang lain”. Sangat menarik melihat jawaban Khalifah Umar ini. Khalifah yang dikenal memiliki intelektualisme tinggi ini menetapkan silabus baru tentang takdir, yang sebelumnya belum terjelaskan. 

Penyakit dalam Islam merupakan hal yang strategis untuk di bahas dengan Islam, banyak hadits nabi yang berbicara tentang penyakit dan pengobatannya. Mengapa Islam sangat peduli dengan penyakit (kesehatan), karena kesehatan adalah organ penting dalam kehidupan, dan Islam selalu memperhatikan setiap bagian kehidupan dari yang terpenting (primer) hingga yang tambahan (sekunder) sebagai jalan keselamatan terbaik bagi umatnya. Takdir artinya ketetapan Allah yang merupakan materi dasar agama Islam (Ushuluddin) yang tak habis di bahas dari zaman ke zaman. Semua Imam besar dari zaman ke zaman tak terlewatkan untuk membahas perihal ini. sehingga menciptakan bahasan tebal dan berjilid, menjadi rujukan yang nikmat bagi generasi belakangan. Tawakal, secara umum berarti berserah diri kepada Allah atas segala usaha. Tawakal merupakan bahasan akhlak yang menjadi patokan dasar bagi umat Islam, untuk bertingkah dan berlaku. Penulis tidak akan membahas secara mendetail ketiga hal ini. Namun akan sedikit memberi sedikit penghubung sekaligus klarifikasi atas kesalahpahaman baru-baru ini. Bukan untuk menggurui namun untuk memberikan sedikit wacana.

Antara ketiga kata ini (penyakit, takdir, dan tawakal) sebenarnya sudah terlihat sebuah hubungan yang jelas berdasarkan penjelasan Rasulullah, sahabat,  dan penjelasan para Imam. Mereka yang salah paham biasanya berpendapat bahwa penyakit adalah takdir (ketetapan) dari Allah dan oleh karena ia takdir, kita harus tawakal (berserah) kepada Allah dan tidak menolaknya dengan memberi pengobatan. Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy dalam kitabnya tibbunnabawi sangat cerdas menjawab hal ini dengan menghadirkan banyak dalil Al Qur’an dan hadits yang secara jelas dan qoth’iy menjawab permasahan ini. Salah satunya adalah hadits Nabi yang Penulis cantumkan di atas. Hadits lain misalnya yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi, salah seorang mendatangi Nabi Muhammad kemudian berkata “wahai Rasulullah apakah kita berobat?”, Rasul menjawab “ya, wahai hamba Allah, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali dengan kesembuhan…” Al Hadits.

Dengan hadits di atas menjadi jelas bahwa kita diperintahkan untuk berusaha melakukan pengobatan. Menurut Ibnu Qayyim, menanggapi hadits tersebut, bahwa penyakit adalah takdir dari Allah, akan tetapi kita diperintahkan untuk mengubah takdir itu dengan takdir pengobatan. Penyakit adalah takdir dan pengobatan adalah takdir yang lain. Jadi jelaslah disini hubungan antara penyakit dan takdir Allah. Sedangkan tawakal menjadi bagian akhlak kita menyikapi penyakit dan takdir itu dengan bertawakal berserah diri setelah melaksanakan ikhtiar. Karena tidak ada tawakal sebelum ikhtiar dilakukan. Tawakal bukanlah berdiam diri sebagai proses menunggu takdir, akan tetapi sebuah penyerahan hasil usaha dan keputusan takdir setelah berusaha dan berdoa.

Setelah semua ketiga kata tersebut telah terkait, sampailah kita pada kesimpulan bahwa, penyakit wabah adalah takdir dari Allah, pengobatan dan pencegahan merupakan takdir lain yang harus kita lalui. Sehingga seharusnya tidak ada yang meremehkan sebuah wabah yang menjangkiti dunia kita saat ini. Ketika kita takut kepada Allah tentu kita harus taat kepadaNya, kepada RasulNya melalui haditsnya, dan patuh kepada anjuran ulama yang menjadi kepanjangan tangan dari risalah Nabi. Dengan demikian kita akan terhindar dari wabah penyakit ini dan senantiasa berfikir secara rasional terhadap perintah agama dan fatwa ulama.