Minggu, 12 April 2020

PENYAKIT, TAKDIR, DAN TAWAKAL

PENYAKIT, TAKDIR, DAN TAWAKAL
Oleh : Hendri Kurniawan

Penyakit, takdir dan tawakal nampaknya tidak memiliki relasi yang kuat untuk dijadikan bahan tulisan. Terlebih karena ketiganya masuk ke dalam Bab pembahasan yang berbeda. Namun ternyata ketiga kata itu memiliki kaitan yang cukup erat, bukan karena Islam sendiri yang mengeratkannya, akan tetapi keeratan ketiga kata itu berdasarkan sebuah realitas yang terjadi dari zaman Rasulullah, zaman sahabat, hingga saat ini. Berdasarkan realitas itulah, Islam sebagai sebuah solusi menjawab dan mengklarifikasi hubungan ketiga kata itu.

Sejenak kita tinggalkan ketiga kata tersebut. Kemudian mari kita buka mata untuk sebuah realitas saat ini. Penulis akan menyajikan sebuah realitas berdasarkan apa yang Penulis baca dan lihat saja, kemudian akan kita kaitkan dengan pembahasan kali ini.

Baru-baru ini, di media sosial ada sebuah pernyataan yang viral menyikapi fatwa sholat jumat ketika wabah dari MUI. Pernyataannya kurang lebih begini “jangan takut terhadap virus korona, takutlah kepada Allah”. Pernyataan yang lain yang tak kalah menyebar “lebih baik mati ketika sholat jumat dari pada harus tidak sholat jumat”. Pernyataan lainnya “semua berdasarkan takdir, jika takdirnya kita sakit maka tidak ada yang bisa menahannya”. Semua pernyataan tersebut, jika dilihat secara sederhana maka tidak akan bermasalah. Namun jika diteliti maka akan menemukan kekurangan bahkan kesalahan fatalnya.

Selain itu ada pula berita baru baru ini yang tak kalah membuat kita kaget, sekumpulan jamaah memaksa membuka pagar masjid untuk melaksanakan shalat jumat setelah ditutup sementara oleh pihak DKM. Senanda dengan itu, ada seorang pemuka agama berusaha meyakinkan jamaahnya dengan membandingkan shalat ketika perang dengan shalat jumat ketika wabah terjadi, "perang saja yang resikonya hidup mati, masih diwajibkan shalat, apalagi cuma korona" demikian kira-kira penggalan komentarnya. Menurut singkat Penulis membandingkan perang dengan wabah tentu bukan qiyas yang tepat. 

Penulis kali ini, tidak akan membahas tentang pernyataan-pernyataan tersebut, tapi Penulis berupaya menyimpulkan dan berupaya mencari akar masalah kenapa bisa terlontar pernyataan-pernyataan tersebut, kemudian berupaya mengurai agar mendapatkan jalan pencerahan. Menurut Penulis, semua pernyataan tersebut terlontarkan berakar pada kesalahan pemahaman terhadap ketiga kata yang Penulis sampaikan di awal tulisan ini. 

Kesalahan memaknai Penyakit, takdir dan tawakal tidaklah mengherankan Penulis. Karena kesalahan memaknai ketiga hal ini tidak hanya dialami pada zaman sekarang saja. Pada zaman Rasulullah pun ternyata demikian. Dan Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat tentang perkara ketiga hal tersebut dengan cerdas.

Penulis jadi teringat ada seorang dai yang mengatakan bahwa, sebenarnya tipe umat di zaman Rasulullah dan zaman sekarang tidak jauh berbeda. Ada yang taat, ada yang tidak taat, ada yang rasional ada yang tidak, ada yang sangat taat bahkan sampai berlebihan dalam beragama. Namun bagaimanapun kondisinya, jika mereka beriman kepada Allah dan RasulNya, maka ketika Rasulullah beritahu, mereka akan selalu patuh.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi mungkin menggambarkan kondisi pemikiran seorang sahabat yang misunderstanding terhadap takdir dan penyakit. Haditsnya diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Al Hakim dan dikutip juga oleh Ibnul Qayyim Al Jauzy di dalam kitab tibbunnabawi. Seorang Sahabat bertanya : “wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ruqyah yang dibacakan, dan obat yang digunakan untuk pengobatan, serta pantangan-pantangan yang kami hindari, apakah ini semua menolak takdir Allah?, Rasulullah menjawab :”itu semua termasuk takdir Allah”. Pada hadits ini tergambar kesalahpahaman sahabat terhadap sebuah penyakit dan pencegahannya serta makna takdir itu sendiri. Dan Rasulullah sebagai sumber Ilmu menjelaskan dengan sangat singkat dan cerdas.

Kesalahpahaman tersebut juga dialami oleh seorang sahabat yang bertanya kepada Khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu Khalifah Umar yang memiliki kecerdasan dan intelektualisme tinggi, pernah berencana untuk berkunjung ke daerah Suriah. Tiba-tiba terbetik berita bahwa di daerah tersebut sedang terjadi wabah penyakit menular. Lalu seketika Khalifah Umar membatalkan kunjungannya itu. Para Sahabat banyak yang protes atas sikap Umar ini. sehingga mereka berkata “apakah Tuan hendak lari dari takdir Allah?”. Lalu Umar pun menjawab dengan sebuah kata yang terkenal dan menjadi rujukan dalam BAB takdir “aku lari dari takdir Allah, kepada takdir Allah yang lain”. Sangat menarik melihat jawaban Khalifah Umar ini. Khalifah yang dikenal memiliki intelektualisme tinggi ini menetapkan silabus baru tentang takdir, yang sebelumnya belum terjelaskan. 

Penyakit dalam Islam merupakan hal yang strategis untuk di bahas dengan Islam, banyak hadits nabi yang berbicara tentang penyakit dan pengobatannya. Mengapa Islam sangat peduli dengan penyakit (kesehatan), karena kesehatan adalah organ penting dalam kehidupan, dan Islam selalu memperhatikan setiap bagian kehidupan dari yang terpenting (primer) hingga yang tambahan (sekunder) sebagai jalan keselamatan terbaik bagi umatnya. Takdir artinya ketetapan Allah yang merupakan materi dasar agama Islam (Ushuluddin) yang tak habis di bahas dari zaman ke zaman. Semua Imam besar dari zaman ke zaman tak terlewatkan untuk membahas perihal ini. sehingga menciptakan bahasan tebal dan berjilid, menjadi rujukan yang nikmat bagi generasi belakangan. Tawakal, secara umum berarti berserah diri kepada Allah atas segala usaha. Tawakal merupakan bahasan akhlak yang menjadi patokan dasar bagi umat Islam, untuk bertingkah dan berlaku. Penulis tidak akan membahas secara mendetail ketiga hal ini. Namun akan sedikit memberi sedikit penghubung sekaligus klarifikasi atas kesalahpahaman baru-baru ini. Bukan untuk menggurui namun untuk memberikan sedikit wacana.

Antara ketiga kata ini (penyakit, takdir, dan tawakal) sebenarnya sudah terlihat sebuah hubungan yang jelas berdasarkan penjelasan Rasulullah, sahabat,  dan penjelasan para Imam. Mereka yang salah paham biasanya berpendapat bahwa penyakit adalah takdir (ketetapan) dari Allah dan oleh karena ia takdir, kita harus tawakal (berserah) kepada Allah dan tidak menolaknya dengan memberi pengobatan. Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy dalam kitabnya tibbunnabawi sangat cerdas menjawab hal ini dengan menghadirkan banyak dalil Al Qur’an dan hadits yang secara jelas dan qoth’iy menjawab permasahan ini. Salah satunya adalah hadits Nabi yang Penulis cantumkan di atas. Hadits lain misalnya yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi, salah seorang mendatangi Nabi Muhammad kemudian berkata “wahai Rasulullah apakah kita berobat?”, Rasul menjawab “ya, wahai hamba Allah, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali dengan kesembuhan…” Al Hadits.

Dengan hadits di atas menjadi jelas bahwa kita diperintahkan untuk berusaha melakukan pengobatan. Menurut Ibnu Qayyim, menanggapi hadits tersebut, bahwa penyakit adalah takdir dari Allah, akan tetapi kita diperintahkan untuk mengubah takdir itu dengan takdir pengobatan. Penyakit adalah takdir dan pengobatan adalah takdir yang lain. Jadi jelaslah disini hubungan antara penyakit dan takdir Allah. Sedangkan tawakal menjadi bagian akhlak kita menyikapi penyakit dan takdir itu dengan bertawakal berserah diri setelah melaksanakan ikhtiar. Karena tidak ada tawakal sebelum ikhtiar dilakukan. Tawakal bukanlah berdiam diri sebagai proses menunggu takdir, akan tetapi sebuah penyerahan hasil usaha dan keputusan takdir setelah berusaha dan berdoa.

Setelah semua ketiga kata tersebut telah terkait, sampailah kita pada kesimpulan bahwa, penyakit wabah adalah takdir dari Allah, pengobatan dan pencegahan merupakan takdir lain yang harus kita lalui. Sehingga seharusnya tidak ada yang meremehkan sebuah wabah yang menjangkiti dunia kita saat ini. Ketika kita takut kepada Allah tentu kita harus taat kepadaNya, kepada RasulNya melalui haditsnya, dan patuh kepada anjuran ulama yang menjadi kepanjangan tangan dari risalah Nabi. Dengan demikian kita akan terhindar dari wabah penyakit ini dan senantiasa berfikir secara rasional terhadap perintah agama dan fatwa ulama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar